SENDIRI
Oleh: Dayang Fadzillah
Oleh: Dayang Fadzillah
Hembusan angin menjadi temanku dalam suasana sunyi siang
itu. Menyendiri aku duduk di bawah pohon mahoni yang teduh sambil menulis
kata-kata yang tak padu. Tulisan ini hanya mengalir sejalan dengan apa yang
kupikirkan kala itu. Tanpa sadar sesekali aku melamun. Dibalik setianya
hembusan angin yang menemaniku duduk sendiri ternyata ia bawakan sebuah kabar
yang dititipkannya pada sehelai daun kering yang baru saja gugur dan jatuh
mengenai kepalaku hingga lamunan itu tiba-tiba hilang.
“Day,
ngapain disitu? Memangnya gak ada guru ya?”, teriak Bella salah satu teman
dekatku yang terbilang cukup harus dengan pertimbangan bila kita beradu
argument dengannya.
“Iya,
Bel. Pak Yudi gak masuk hari ini.”
“Jadi
ngapain diluar sendirian gitu?”
“Oh,
ini aku cuma cari angin aja, panas kali di kelas.”
“Day,
nanti kalau ada guru yang masuk, sms aku ya!”
“Lho,
mau kemana lagi Bel?”
“Kantin”
“Sendirian?”
“Nggak,
sama Os.”
Suasana
kembali sepi ketika Bella kembali pergi. Akupun kembali melanjutkan tulisan
yang setelah kubaca ulang, ternyata yang kutulis banyak dari potongan-potongan
lirik lagu yang menggambarkan apa yang aku pikirkan. Kembali menulis masih
dengan kawan yang sama, angin.
“Day
kok sendirian? Mana Bella?”, tanya Randa yang berjalan menghampiriku dan
diikuti bidadarinya yang mengekor dibelakangnya.
“Di
kantin, sama Os.”
“Jadi
dari tadi disini? Kupikir pergi sama Bella.” sahut perempuan cantik yang
berdiri di belakang Randa.
Sesaat,
sendiri itu kini berubah menjadi tiga kawanan. Tetapi tetap saja ganjil.
Temanku juga msih sama, angin. Ya, karena baik Randa maupun Putri tetap saja
asik berdua. Menurutku mereka pasangan yang terbilang unik, karena terkadang
tiba-tiba Randa marah dan merajuk gak jelas ke Putri cuma gara-gara Putri gak
dengar Randa memanggilnya. Kalau sudah terlanjur marah begitu, Putri tetap saja
menyikapinya dengan tenang atau merespon baik emosi sesaat itu dengan
cubitan-cubitan kecil tanda sayang.
“Day,
kau gak bosan dari tadi disini? Aku aja yang yah paling baru lima menit disini,
udah ngerasa suntuk.”
“Kan
ada Putri, Ran. Aku sih nggak bosan.”
“Tapi
kan gak ada yang bisa dikerjain, Day.”
“Nih,
nulis.”
“Itukan
memang kerjaanmu dari kemarin di kelas. Apa sih itu? rasanya gak kelar-kelar.”
“Emang
gak akan kelar, orang aku cuma nulis-nulis sembarangan aja.”
“Mending
kita susul Bella ke kantin, yok.”
“Nggak
ah, kalian aja. Sekalian ajak Sisil tuh!”
“Aku
traktir lah, beneran ayo.” Randa mengajakku dengan sedikit paksaan. Dia tau
betul aku orang yang paling susah untuk menolak traktiran. Tapi sayang Ran.
Ajakanmu harus kutolak hari ini.
“Gak
usah, Ran. Aku udah kenyang, tadi baru aja makan kue risolles sisa jualanku.”
“Day,
kenapa? Ada masalah?” tanya Putri.
“Nggak
kok, Put. Aku lagi gak mood pergi ke kantin. Masih pengen disini. Kalau mau ke
kantin, yaudah gapapa. Ntar si Randa
merajuk gak jelas lagi loh.”
“Ah,
gak mau. Ayo ikut!”
“Iya
iya. Tapi nanti kalau aku udah bosan ya.”
“Yah,
sama aja nggak mau namanya. Ish, udah ayo ke kantin.” Putri benar-benar memaksa
dengan menarik tanganku agar aku bangkit.
Untuk
kali ini aku harus berdiri dan bilang,”Kalian diluan aja, nanti aku susul.
Insyaallah.”
Alhasil,
mereka pergi menyusul Bella tanpaku dengan terlebih dahulu kembali ke kelas dan
mengajak Sisil. Bisa kulihat rona senang dan berseri-seri dan keempat teman
dekatku itu. Termasuk Sisil yang biasanya juga ikut duduk disini, tapi hari ini
dia hanya duduk di bangku kelas karena katanya ia sedang sakit perut.
Ternyata
dengan diajak ke kantin bareng Randa, sakit perut Sisil sembuh. “Apa dia
kelaparan ya dari tadi?” tapi perasaan tadi kutanya, katanya dia sudah makan.
Atau “apa karena dia juga mau ditraktir?” setauku, Sisil bukan tipe orang yang
suka gratisan macam aku. Pikirku yang
menebak-nebak keadaan menggelikan itu.
Sejenak
aku bangkit dari tumpukan bata yang dibalut semen yang dari tadi kududuki,
menuju kelas. Keadaan masih seperti biasa kalau sedang tidak ada guru. Dan sama
sekali tidak ada pemberitahuan hasil ujian yang harus mengulang dan biasa dititipkan
pada ketua kelas. Akupun kembali pada bangku semen dengan dipayungi pohon
mahoni yang teduh. Meski tak banyak yang kulakukan dari tadi, tapi keadaan ini
bisa ku baca. Tak lama kemudian, Mirza lewat di depanku dan pergi menuju kantin
mungkin menemui Sisil, pacarnya Hembusan angin yang membawa maksud hari ini.
Itulah mengapa aku menolak ajakan mereka.
Sehari
sebelumnya, memang mereka telah membicarakan tentang rencana tempat kunjungan
liburan yang kurang lebih seminggu lagi. Mereka juga sempat menanyakan
pendapatku. Tapi aku hanya berbicara seadanya dan selalu bilang “tempat itu
bagus, tempat yang itu juga bagus.” Dan kalau mereka udah ngumpul gitu, tinggal
tentukan waktunya saja.
Aku
menyayangi mereka, dan menghargai betul sikap kesetiakawanannya. Benar-benar
aku tak ingin merusak acara seru mereka, dan membuat mereka kembali memiliki
kesan merasa gak enak denganku. Mereka juga ingin aku ikut pergi
bersenang-senang. Tapi bagiku sama sekali tidak ada senangnya. Untuk itu
kemudian salah satu dari mereka biasanya bilang, “ajak aja si ini, atau si
itu”. Atau terkadang mereka mencoba membuat aku yakin dengan perkataan,
“tenang, Day. Kita kan sama-sama, jadi gak mungkin kami biarin Dayang sendiri.”
Sudah
kebal aku mendengar perkataan-perkataan itu, tapi tetap saja hati kecil tak
bisa sembunyi dari keadaan ingin seperti mereka yang selalu bersenang-senang.
Tapi biasanya aku orang terakhir yang diajak karena rata-rata ajakan itu selalu
ku tolak. Bagaimana mungkin pertemanan bisa disamakan dengan percintaan. Tentu sangat
jelas berbeda, dari suasana hangatnya canda tawa seorang teman akan berubah
menjadi suasana saling terikat perasaan dengan manisnya rayuan sang kekasih
pada bidadari pengisi hatinya.
Kita
tidak harus menjadi mentari yang terus selalu MENGHADIRKAN kehangatan dan
kebahagian untuk siapa saja. Tapi dengan kita MEMAHAMI, kita telah menjadi
sedikit bagian dari sinar mentari yang memberikan kebahagiaan. Biarkan orang
lain menikmati kebahagiaan mereka dengan puas.
Lalu
aku kembali pada pekerjaan semula, mengoret-oret kertas dengan pena, menuliskan
kata-kata sok puitis dan terkadang potongan lirik lagu yang terbesit dipikiran
yang sesuai dengan keadaanku kala itu.
Kini
hembusan angin kembali menghampiriku berbisik tentang kabar gembira. Sendiri
itu memang tidak selamanya menyenangkan, tapi akan menjadi anugrah bila kita
bersabar mendapatkan teman sekaligus malaikat penjaga yang yang benar-benar mencintai dan melindungi
kita dengan tulus. J
July, 6th 2013
tema: untuk seseorang
yang masih sendiri atau baru patah hati